Minggu, 27 Februari 2011

Umar At-Tilmitsani

Ustadz Umar At-Tilmitsani merupakan sosok yang memiliki karakter yang fenomenal ini, teguh dalam membawa beban tanggung jawab dan amanah dakwah terutama pada masa dan kondisi sulit perjalanan dakwah Al-Ikhwan Al-Muslimun pada permulaan tahun 70-an abad 20 ini, sebelumnya beliau menghilang dan dipenjarakan dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun, seakan mereka menyadari kebenaran firman Allah SWT:

الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ

“(yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertaqwa ada pahala yang besar”. (Ali Imran:172)

Ustadz Umar At-Tilmitsani Dalam Kenangan

Nama lengkap beliau adalah Umar Abdul Fattah Abdul Qadir Mustafa At-Tilmitsani.

Lahir di jalan Husy dekat dengan Al-Ghoriyah bagian jalan merah di Kota Kairo, pada tanggal 4 November 1904, dan wafat pada hari Rabu tanggal 13 Ramadhan tahun 1406 H bertepatan dengan tanggal 22 Mei 1986 M pada umur mendekati 82 tahun.

Masuk dalam penjara pada tahun 1948 kemudian pada tahun 1954 dan pada tahun 1981, dan tidak ada ujian yang terus menimpanya kecuali membuatnya lebih tegar dan teguh keimanannya.

Beliau hidup di tengah keluarga yang berkecukupan dan rumah yang mewah dan luas, kakek dari bapaknya berasal dari desa Tilmitsani di Al-Jazair, datang ke kota Kairo menjadi seorang pedagang, dan Allah menganugrahkannya harta yang berlimpah, kemudian mengungsi kepada Al-Quran dan berpegang teguh kepadanya, serta memfokuskan diri pada Al-Quran dan melakukan tazkiyatun nafs dengan sungguh-sungguh dan gigih.

Pada usia 18 tahun beliau menikah, saat itu beliau masih duduk di bangku sekolah tingkat SMA, beliau begitu setia dengan istrinya hingga Allah memanggilnya pada tahun 1979 setelah mengaruniakan 4 orang anak; Abid, Abdul Fattah dan dua orang wanita.

Beliau berhasil mendapatkan predikat licence (Lc). pada Bidang hukum dan bekerja pada di bagian kehakiman (pengacara), yang kantornya terletak di daerah Syibin di Al-Qanatir, beliau gigih memperjuangkan hak-hak orang yang terzhalimi hingga pada tahun 1933 beliau berjumpa dengan Al-Imam Syahid Hasan Al-Banna di rumahnya kemudian berbait dan menjadi pengikut dakwah Al-Ikhwan Al-Muslimun, beliau termasuk orang yang pertama kali dari seorang pengacara yang masuk dalam dakwah yang penuh berkah ini.

Kisah Baiat Umar At-Tilmitsani

Beliau berkata, “Hubungan saya dengan Al-Ikhwan Al-Muslimun dan dengan Imam syahid Al-Banna memiliki kisah yang mengesankan dari awal hingga akhir.

Pertama kali saya membuka kantor di Syibin Al-Qanatir saya tinggal di perkampungan At-Tilmitsani, dan ketika itu hari Jum’at awal tahun 1933 saya duduk-duduk bersama keluarga di taman bunga hingga seorang penduduk desa menghampiri saya dan berkata: ada dua orang afandih (sebutan orang yang belum dikenal) ingin bertemu denganmu, maka sekejap aku tinggalkan istri dan anak-anakku dan aku persilakan keduanya untuk datang, dan yang datang adalah dua orang pemuda; salah seorang di antara keduanya bernama Izzah Ahmad Hasan pembantu salkhonah di Syibin Al-Qanatir, dan yang lainnya bernama Muhammad Abdul ‘Aal, seorang penjaga/pegawai stasiun kereta api di daerah Delta di persimpangan daerah Abu Zaghbal.

Setelah dipersilakan dan keduanya minum kopi dan teh dan bercerita maksud kedatangannya, beberapa saat saya diam lalu salah seorang di antara mereka berkata: Apa yang harus kita lakukan ? dia menyampaikan pertanyaan dan aku menganggapnya sebagai urusan tanpa arti, lalu saya berkata kepada keduanya sambil mengejek: apa untungnya dengan urusan ini! Namun jawaban ejekan saya tidak dihiraukan dan tidak memberikan pengaruh pada keduanya bahkan bertanya kembali seperti pertanyaannya semula, dia berkata: di sana ada sesuatu yang lebih penting dari yang membutuhkan tarbiyah seperti Anda. Saya berkata: saya masih tidak serius untuk menjawabnya: apa ada sesuatu yang membuat saya butuh tarbiyah? Mereka berkata: Umat Islam telah jauh dari agama mereka, hingga pemimpin mereka menguasai umat dan negara mereka sehingga tidak memiliki kekuatan sedikit pun.

Saya berkata: Apa urusan saya dengan itu semua? Di sana ada pemerintahan dan Universitas Al-Azhar dengan sekularisasinya yang memiliki tanggung jawab masalah ini.

Dia berkata: sesungguhnya negara-negara Islam saat ini seakan tidak merasakan eksistensinya. Apakah Anda rela diundang oleh ulama besar pada malam lailatul qadar setiap bulan Ramadhan sambil buka bersama dan duduk bersama satu meja dengan jenderal Sami yang berkewarganegaraan inggris, dan di samping setiap ulama duduk wanita inggris dengan memakai perhiasannya dan pakaian setengah telanjang? Saya berkata: sudah pasti saya tidak rela. Namun apa yang bisa saya lakukan? Dia berkata: sesungguhnya saat ini andai tidak sendirian, di Kairo ada sekelompok (jamaah) Islam, yang memiliki pemahaman universal bernama jamaah al-Ikhwan Al-Muslimun“ yang dipimpin oleh seorang guru SD bernama Hasan Al-Banna, kami akan merencanakan waktu agar Anda dapat bertemu dengannya, mengenal apa yang diserukannya dan apa yang ingin diwujudkannya.

Setelah itu bergemuruhlah kecemburuan agama saya dan terus berkecamuk dalam jiwa saya, sayapun terus dihantui perasaan bosan dengan kondisi selama ini dan akhirnya saya sepakat untuk bertemu dengan orang yang disebut tadi, keduanya pun pergi tanpa saya berjumpa dengan keduanya setelah itu, dan saya ketahui dari keduanya sebelum pergi bahwa keduanya membawa misi penting setiap Jum’at pagi setelah shalat fajar.

Sekalipun ada perbedaan antara seseorang yang menjaga kehormatannya dan seseorang yang sedang menyeru untuk beramal dan berjihad di jalan Allah. Namun berhak baginya merasa untuk heran dan kagum terhadap penampilan saya yang menunjukkan kemakmuran secara sempurna, tidak merasa terbebani dengan amal di jalan Allah; perkara yang membutuhkan banyak perubahan menuju kehidupan yang sederhana dan tidak terjerumus pada kehidupan glamour dengan meninggalkan segala kenikmatan yang dicapai selama ini.

Sekalipun fenomena yang tidak banyak memberikan ketenangan, orang tersebut telah banyak bercerita tentang dakwah, sejak awal dan akhir yang diinginkan adalah tuntutan penerapan syariat Allah, mengarahkan umat dan memberikan peringatan kepada mereka akan hakikat ini, dan kebaikan tidak akan terwujud kecuali dengan jalan tersebut.

Bahwa perubahan antara undang-undang konvensional kepada undang-undang Islam adalah suatu keniscayaan menuju proyek besar tanpa kekerasan dan teror.

Imam Syahid juga menjelaskan –dalam pertemuan pertama kami- akan tujuan dan misi dakwah serta sarana-sarananya, beliau menyampaikan dengan penuh kejujuran dan ketulusan, menyampaikan rasa sedihnya terhadap kondisi yang menimpa umat Islam di segala penjuru dunia, dan kehinaan yang menyelimuti umat Islam dan berusaha menghilangkan khilafah Islamiyah, jika sebagian para pemimpin melakukan kerusakan dan penyimpangan maka bukan berarti khilafah tersebut yang jelek atau menyimpang, siapa pun mengakui akan hal tersebut; karena teori berbeda dengan penerapan.

Setelah dialog panjang selesai, kembali beliau bertanya kepadaku: Apakah Anda puas? Setelah saya menjawabnya beliau segera berkata kepadaku: jangan dijawab sekarang, di hadapanmu ada satu minggu untuk merenungkan jawabannya, saya tidak mengajakmu pada minggu depan untuk baiat, jika Anda merasa terganggu cukup bagi kita menjadi sahabat dalam al-Ikhwan Al-Muslimun.

Ada orang yang ikut dalam pertemuan itu dan selintas ada pembicaraan dari yang aku dengar tentang baiat, maka ketika lewat satu minggu, saya hadir tepat waktu dan berbaiat kepadanya sambil bertawakal kepada Allah. Saya merasa ini adalah kebahagiaan yang sangat besar dalam hidupku menjadi bagian dari jamaah Al-Ikhwan Al-Muslimun sejak berdirinya selama lebih dari setengah abad, mendapatkan hidayah di jalan Allah dari apa yang aku dapatkan, dan berharap ganjaran dari sisi Allah, dan ikhlas karena Allah.

Demikianlah kisah perjumpaan saya dengan imam Syahid Hasan Al-Banna dan Al-Ikhwan Al-Muslimun, tidak menjanjikan dunia dan segala kenikmatan yang ada di dalamnya, kekayaan dan kemegahannya, wangi bunga dan keindahannya, namun secara gamblang disampaikan bahwa jalan dakwah ini penuh dengan onak dan duri, keletihan dan kepayahan, bagi yang menerimanya dengan bashirah (kesadaran yang tinggi), tidak akan mencela siapa pun maka tiada seorang pun yang dapat menipunya.

Demikianlah saat mereka mau menerimanya dengan penuh kerelaan, Allah akan menyatukan antara hati mereka, hingga umat yang lain takjub akan kuatnya ikatan yang menyatukan hati para ikhwah seluruhnya; bahkan di antara mereka ada yang berkata: jika ada salah seorang ikhwah yang bersin di Alexandria maka akan diucapkan doa “Yarhamukallah“ oleh ikhwah yang ada di Aswan. Dan saya katakan: sekiranya seorang ikhwah di Eropa menginginkan sesuatu maka akan ada yang mewujudkannya oleh ikhwah yang ada di Kanada selama itu memungkinkan dan selama perkara tersebut tidak membuat Allah Murka.

Umar At-Tilmitsani; Antara Harta Dan Dakwah

Beliau bercerita: Ketika saya berjumpa dengan salah seorang pembesar di kementerian Mesir –saat ini beliau -Hasan Al-Banna- masih hidup- pada masa pemerintahan presiden Anwar Sadat untuk bekerja sama secara khusus, setelah bertukar pikiran, beliau mengutarakan sisi hartanya, dan yang mengagetkan saya adalah ucapan beliau bahwa negara banyak memberikan dana pada seluruh media masa dan majalah-majalah di Mesir, begitu pun majalah dakwah seperti majalah Islam yang paling berhak mendapatkan dukungan dana tersebut, saya memahami apa yang diinginkan orang tersebut, maka saya pun menahan diri dan saya jawab dengan bahasa umum: Ya Syaikh, ucapkan shalawat atas nabi, gak wajar Anda berbicara seperti itu, akhirnya pertemuan berakhir dan saya pun berpisah dengannya.

Suatu hari salah satu penerbit majalah agama yang sampai saat ini masih terbit mengundang saya menghadiri nadwah agama yang diselenggarakan oleh kantor majalah tersebut…saat dialog saya izin ke wc, dan ketika keluar dari wc saya dapati salah seorang dari pegawai majalah memberikan kertas dan meminta saya untuk memberikan tanda tangan. Saya berkata kepadanya: Apa ini? Dan Kenapa? Dia berkata: upah kehadiran Anda pada nadwah ini. Saya berkata: sekiranya saya tahu bahwa dakwah kepada Allah ada upahnya saya tidak akan datang. Dia berkata: Sekadar pengganti transport dan letih…saya berkata: saya punya mobil yang dipersiapkan khusus dari ikhwah untuk permasalahan seperti ini. Dia berkata: tapi yang lain telah mengambilnya. Saya berkata: saya bukan mereka, saya adalah orang yang berada di pintu Allah, lalu saya pergi tanpa mengambil dan memberikan tanda tangan.

Suatu kali ketika saya menunaikan ibadah haji, saat di kota Jeddah seseorang menemui saya al-akh (M.S), saat ini masih hidup-semoga Allah memanjangkan umurnya- dan berkata: salah seorang pembesar ingin bertemu dengan saya walaupun bukan dari keluarga raja Saudi namun masih memiliki hubungan keluarga, maka saya pun menyambutnya dan berharap ada kebaikan di dalamnya, lalu ditentukanlah waktunya, lalu saya pergi 5 menit sebelum waktu yang ditentukan, dan ketika tiba waktunya pembesar tersebut memanggil sekretarisnya dan dia pun mempersilakan saya untuk masuk, di dalamnya salah seorang anak dari Al-Marhum raja Faisal bin Abdul Aziz keluarga Saudi ada bersamanya, namun orang tersebut tidak berkutik sedikit pun dari tempatnya; hingga saya berada berhadapan dengan kursinya, lalu dia berdiri, dan kelihatannya dia melakukan itu karena terpaksa, lalu dia mengucapkan salam, pada saat itu saya memakai sendal dan baju jalabiyah warna putih yang sudah agak buram warnanya.

Lalu pembesar itupun duduk dan berbicara tentang masalah dakwah Islam, kemudian mengeluarkan majalah dakwah yang tidak dikeluarkan lagi setelahnya saat itu. Dan berkata: sesungguhnya dia berkeinginan memberikan bantuan, saya pun memahami akan tujuannya, dan berkata sambil memutus ucapannya: yang mulia Anda meminta saya untuk berjumpa sebagai dai bukan sebagai pemutus perkara, sekiranya saya tahu Anda akan berbicara kepada saya tentang masalah yang sedang Anda alami maka saya mohon maaf untuk tidak memenuhi undangan ini, karena itu izinkan saya untuk pergi, maka orang tersebut tampak marah dengan sikap saya. dan Beliau berkata: saya tidak bermaksud dari apa yang Anda kira, namun saya sebagai seorang muslim ingin membantu amal dakwah dan sungguh benar sabda Rasulullah saw yang maknanya:

وَاْسْتَغِنْ عَمَّنْ شِئْتَ تَكُنْ أَمِيْرَهُ

“Dan berikanlah kepada siapa yang kamu inginkan sehingga kamu menjadi pemimpinnya“

Setelah selesai dia keluar sementara pembesar lainnya masih bersama saya; hingga dia mengantarkan saya menuju tangga, keduanya tidak pergi kecuali setelah saya turun dari tangga tersebut.

Saya juga ingat ketika saya pergi ke salah satu negara Arab untuk menghadiri acara pembukaan musim kebudayaan, setelah saya berbicara pada 10 tempat, salah seorang dari panitia menghampiri saya, dan di tangannya ada amplop yang berisi uang 25000 Dirham. Saya berkata kepadanya: Apa ini? Orang itu mengira saya menganggap jumlah tersebut terlalu sedikit. Dia berkata: selain Anda, ada yang mengambil uang setengah dari jumlah ini. Saya berkata kepadanya: sesungguhnya Anda berada pada suatu lembah dan saya berada pada lembah lain. Saya tidak akan mengambil uang itu karena saya menyampaikan ceramah di jalan Allah, jika uang tersebut harus dibayarkan maka masukkan saja ke rekening bank para mujahid Afganistan yang mulia.

Ketika salah satu surat kabar meminta saya menulis dan memberinya upah, saya menolak; karena saya bukanlah seorang wartawan, dan sekalipun benar atau salah maka lebih pokok adalah ceramah dakwah tanpa ada upah, karena itulah mereka akan mendapatkan kehormatan, dan menganggap bahwa ucapan yang disampaikan adalah karena Allah, Allah berada di belakang berbagai niat dan maksud.

Sifat-Sifat Yang Harus Dimiliki Seorang Dai Atau Murabbi

Ustadz Umar At-Tilmitsani banyak meninggalkan kenangan yang baik, terutama bagi siapa yang mengenalnya atau berkomunikasi dan berhubungan dengannya; oleh karena kebersihan jiwanya, ketulusan hati dan hidupnya, kebaikan ucapannya, keindahan bicaranya, keindahan penampilannya dan kesopanannya dalam dialog dan debatnya.

Beliau bercerita tentang kehidupannya, “Saya tidak pernah mengenal kekerasan dalam akhlaq saya, tidak berambisi mengalahkan dan mematahkan orang lain, karena saya tidak melihat seseorang sebagai musuh, ya Allah kecuali yang demikian itu untuk mempertahankan kebenaran, atau dalam dakwah untuk beramal pada Kitabullah, dan permusuhan tersebut dari pihak mereka bukan dari pihak saya…saya telah berjanji pada diri saya untuk tidak melakukan kezhaliman pada orang lain walaupun hanya dengan ucapan; sekalipun saya berada di hadapan rival politik atau sekalipun mereka menyakiti saya…karena itulah belum pernah ada antara aku dan orang lain permusuhan terhadap masalah pribadi“.

Beliau sangat pemalu, tidak pernah ada orang lain melihatnya sambil mengangkat kepalanya. Pada saat duduk, berdialog selalu ada perasaan bahwa peristiwa yang keras dan panjang dalam kegelapan penjara telah membuatnya lemah; sehingga dia tidak pernah meninggalkan tempat tanpa ada bekas yang orang lain dapat mengimaninya, beliau berada di balik jeruji besi selam 17 tahun, beliau masuk penjara pada tahun 1948, kemudian pada tahun 1954, dan kemudian pada tahun 1981, dan semua ujian tersebut tidak membuatnya gentar kecuali bertambah keteguhan dan ketabahannya pada agama Allah.

Dalam dialog bersama majalah Saudi “al-Yamamah“ tanggal 14-1-1982 beliau berkata, “Sesungguhnya kebiasaan yang ada dalam kehidupan saya adalah saya tidak suka dengan kekerasan apapun bentuknya, ini bukanlah sikap politik saja namun sikap pribadi yang erat dalam jiwa, walaupun saya dizhalimi namun tidak serta merta saya pindah kepada kekerasan, bisa saja saya menggunakan kekuatan untuk mencapai perubahan namun selamanya saya tidak akan pindah pada kekerasan“.

Beberapa Sikap Umar At-Tilmitsani

Ketika Ustadz Umar At-Tilmitsani berada di dalam penjara, beliau pernah diundang pada acara nadwah dan pertemuan para pemuda yang direncanakan oleh aparatur negara, kami bersepakat untuk mengulangi kembali nadwah tersebut dan saat itu dirinya ada permasalahan, namun apa yang dimiliki Allah pasti akan kekal dan bersambung, maka sang mursyid pun menjelaskan duduk perkaranya di hadapan para ikhwah, ada yang mendukung dan ada yang menentang namun akhirnya disepakati.

Suatu hari Ustadz Umar pergi dan berbicara dengan seorang pemuda selama dua jam dengan perbedaan latar belakang namun pertemuan itu berakhir dengan menakjubkan, pemuda tersebut menyalami mursyid, memeluk dan mencium kedua tangannya, mengucapkan terimakasih atas nasihatnya dan terbukalah pintunya. Yang demikian tentunya merupakan taufik dari Allah, namun aparat negara memutus hubungan mereka selamanya, seperti angin yang datang dengan membawa sesuatu yang tidak disukai oleh para nelayan.

Ustadz Umar At-Tilmitsani rahimahullah berkata: Imam Syahid pernah memanggil saya untuk pergi bersamanya dalam suatu perjalanan, di dalam kereta api beliau bertanya kepada saya: Apakah perjalanan ini dengan biayamu atau biaya kita? Jika saya ingin merasa lega dari lelahnya perjalanan yang jauh ini, saya katakan: perjalanan atas biaya aku, dan diberikan tiket kelas dua, namun jika saku dalam keadaan kempis maka aku akan katakan: perjalanan ini atas biaya Anda, maka dia akan memberikan tiket kelas 3.

Lalu aku duduk sementara kepalaku berada di bawah; agar tidak seorang pun yang aku kenal melihat saya, sementara saya duduk di kelas tiga, sementara al-Ustadz tersenyum melihat tingkah saya, sehingga setelah lama saya berada dalam jamaah Ikhwan saya merasa naik kereta kelas tiga seperti mengendarai kereta kelas satu tanpa ada rasa canggung atau malu.

Ustadz Umar At-Tilmitsani rahimahullah juga bercerita: ketika aku pergi bersama al-imam syahid menuju Syibin al-Koum untuk menghadiri acara pernikahan salah seorang ikhwah, setelah shalat Isya saya melihat para ikhwah duduk seperti yang lainnya di hamparan, lalu datanglah makanan dengan telor goreng, keju yang sudah lama, maka saya dekatkan diri saya ke telinganya sambil berbisik; apakah Anda membawa saya kemari untuk membuat saya kelaparan?! Beliau sambil berbisik berkata: diamlah sejenak niscaya Allah akan menutupimu, lalu datanglah seseorang dengan membawa daging goreng dan anggur.

Ketika ustadz Umar At-Tilmitsani dilepaskan dari penjara pada bulan Juni 1971 datang kepadanya seorang tentara berpangkat jenderal, dan berkata kepadanya: Anda telah dibebaskan…maka kumpulkan keperluan Anda untuk keluar, waktu itu tepat shalat Isya, maka beliau pun berkata kepada jenderal tersebut: Bolehkah saya menginap di sini satu malam saja, dan nanti saya akan keluar besok pagi, kerena saya sudah lupa jalan-jalan di kota Kairo.

Jenderal itupun kaget dan berkata: Apa yang kamu katakan? Apa kamu tidak merasa sempit di dalam penjara ini dan ingin keluar darinya secepatnya? Dia berkata: lebih baik saya tinggal disini malam ini lalu keluar besok pagi.

Dia berkata: ini adalah tanggungjawab yang saya tidak mau menanggungnya, silakan keluar dari penjara, dan tidur di depan pintu kapan saja kamu suka, maka aku pun meminta taksi dan dia menghadirkannya, lalu al-ustadz kembali ke rumahnya dan berkata: sungguh saya heran saat saya bertemu dengan keluarga dan kerabat saya tidak merasakan perubahan yang besar dalam jiwa saya, seakan saya tidak berpisah dengan mereka kemarin, apa rahasianya di sini? Saya pun tidak mengetahui!!

Salah seorang kontributor di London mengajukan pertanyaan kepada saya: Kenapa Anda lari dari pertanyaan yang gamblang tersebut? Beliau menjawab: sesungguhnya lari itu bukan bagian dari sifatku, namun kebiasaanku membuat aku acuh terhadap kritikan pemerintahanku diluar negeri, saya tidak mau mengecam sementara saya berada di luar, namun saya lebih suka menyampaikannya langsung di dalam Mesir, ini adalah prinsip bukan politik“.

Dalam salah satu nadwah yang diselenggarakan oleh para wartawan negara Emirat bersama dengan Ustadz Umar At-Tilmitsani tahun 1982 setelah terjadi penangkapan besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintahan Anwar Sadat, salah seorang wartawan mengajukan pertanyaan: Apa pendapat Anda terhadap pemerintahan Mesir dan perjanjian Camp David?

Ustadz menjawab: Saya lebih suka mengajukan pandangan penanya karena saya datang kemari bukan untuk mencela pemerintah kami, pendapat kami begitu jelas dan gamblang terdapat dalam media masa dan majalah-majalah di Mesir. Kami telah belajar dari Islam dengan jelas untuk menjaga kebersihan lisan. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda, “Bukanlah orang yang beriman, orang yang suka mencela, melaknat, berkata kotor dan keji“.

Selamat Tinggal Ustadz

Allah telah memanggil beliau pada hari Rabu tanggal 13 Ramadhan tahun 1406 H bertepatan dengan tanggal 22 Mei 1986, beliau wafat di Rumah sakit oleh karena sakit yang menimpanya pada usia 82 tahun, beliau dishalatkan di masjid Umar Mahram di Kairo, dan orang yang mengiringi jenazahnya begitu banyak hingga mencapai seper empat juta jiwa –ada yang mengatakan setengah juta jiwa, dari rakyat Mesir dan para utusan yang datang dari luar Mesir.

Mesir belum pernah menyaksikan selama setengah abad terakhir para pelayat yang mengiringi jenazah seperti saat meninggalnya ustadz Umar At-Tilmitsani, dengan kebesarannya, kemuliaannya, ketulusannya dalam hidupnya selama di dunia.

Kami tidak bisa melupakan pandangan para pemuda yang berumur belum mencapai 20 tahun dan ada yang lebih…mereka datang dari kota dan desa ikut menyertai jenazah beliau, mereka berjalan tanpa alas kaki di belakang mobil yang membawa jenazah, air mata mereka menetes membasahi wajah mereka, menangisi meninggalnya seorang dai, seorang pemimpin, seorang pengayom, seorang mursyid dan simbol sejati umat Islam.

Beliau adalah seorang pembawa bendera dakwah Islam tingkat dunia, yang dalam kurun selama 10 tahun terakhir mampu mengembalikan harakah Islam modern –terutama jamaah Al-Ikhwan Al-Muslimun- dengan kebersihan, kesucian dan keramahannya pada jati dirinya, mampu menolak segala tuduhan dan racun yang dihadapkan kepadanya, tuduhan-tuduhan batil yang dilekatkan kepadanya, bahkan pada segala kebohongan-kebohongan yang dilakukan oleh para durjana, selama sepertiga abad terakhir, sehingga pada akhirnya hati para musuh menjadi lunak dan luluh dan kemudian menjadi kawan.

Ustadz Umar At-Tilmitsani rahimahullah dengan akhlaqnya, hidupnya yang sederhana, budi pekertinya yang mulia, kelembutannya, kejujurannya, keikhlasannya, kesuciannya, keterusterangannya, keberaniannya, ketawadhuannya, kesemangatannya, kegigihannya dan kebijaksanaannya mampu mewujudkan jamaah Al-Ikhwan Al-Muslimun keberadaannya (eksistensinya) secara pasti dan realistis, mengembalikan perannya dalam kancah politik hingga pada tingkat nasional (Mesir), dunia Arab dan internasional.

Sang mujahid Umar Tilimsani wafat, sementara rakyat Mesir berkata: Ya untuk Al-Ikhwan Al-Muslimun!!

Kemudian pemerintah pun mulai menampakkan ketsiqahannya terhadap Al-Ikhwan Al-Muslimun, ehingga ikut serta dalam mengusung jasad beliau, dihadiri oleh perdana menteri, syaikhul Azhar, anggota Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyah dan ketua DPR Mesir, sebagian pemimpin PLO Palestina, sebagian besar rakyat Mesir dan umat Islam dan para pembesar dari kalangan diplomat; Arab dan Islam.

Bahkan hingga gereja Mesir berkata: Ya untuk Al-Ikhwan Al-Muslimun, lalu ikut serta dalam mengusung mayat yang diwakili oleh Pendeta Namr Erius.

Akhirnya gereja menafikan ucapannya yang keji dan menyebarkan fitnah terhadap Al-Ikhwan Al-Muslimun bahwa Al-Ikhwan Al-Muslimun bertentangan dengan persatuan dan kesatuan bangsa!!

Dan sambil malu-malu kalangan pers berkata: Ya untuk Al-Ikhwan Al-Muslimun, lalu menyebarkan berita wafatnya sang maestro Al-Ikhwan Al-Muslimun dan memujinya, bahkan sang pemimpin surat kabar akhbar al-yaum Ibrahim Sa’adih berkata: Umar Tilimsani wafat, suasana aman; bagi jamaah, bangsa, bahkan negara!!

Golongan kiri Mesir juga berkata: Ya untuk Al-Ikhwan Al-Muslimun…hingga mereka ikut hadir mengusung mayat Umar At-Tilmitsani!!

Radio Amerika juga berkata: Jenazah ini memberikan kekuatan dan semangat aliran Islam di Mesir khususnya, karena kebanyakan yang hadir dalam mengusung mayat adalah para pemuda.

Majalah Kirinz International terbitan tanggal 1-6-1986 menulis berita: dengan wafatnya Umar Tilimsani gerakan Islam kehilangan sosok pemimpin yang gigih bekerja dan kepribadiannya akan selalu dikenang sepanjang masa.

Buku-buku karangan Ustadz Umat At-Tilmitsani:

Dzikrayat la Mudzakarat, Syahid al-Mihrab, Hasan Al-Banna al-mulihim al-mauhub, Ba’dhu Ma Allamani Al-Ikhwan, Fi Riyadhi tauhid, Al-Makhroj al-Islami min Al-Ma’zaq as-siyasi, Al-Islam wal hukumah Ad-diniyah, Al-Islam wa Nazhrotuhu as-samiyah lil mar’ah, Qola an-Naas walam Aqul fi Ahdi Abdun Nasir, Min sifatil abidin, Ya Hukkaam Al-Muslimin.. Ala Takhafunallah? La nakhafu al-Islam walakin, Al-Islam wal hayah, Haula Risalah Nahwa Nuur, Min Fiqh al-I’lam al-Islami, Ayyam ma’a Sadat, Aaro fi Addin wa as-siyasah.

Rabu, 16 Februari 2011

Asy Syaja’ah

Kehidupan dunia ini diiringi kesulitan demi kesulitan ( Al Balad: 4). Sehingga kesulitan sesuatu yang tak bisa dielakkan. Ia adalah realita perjalanan dunia ini. Kesulitan menjadi sebuah resiko dalam hidup. Tak seorang pun yang lepas dari kenyataan itu. Namun yang acap kali terjadi adalah takut terhadap resiko yang bakal muncul. Lantaran kekerdilan jiwa untuk menghadapinya. Lalu timbullah ketakutan-ketakutan. Padahal rasa ketakutan ini cuma menggiring seseorang menjadi pengecut. Dan akhirnya lari dari kenyataan.
Sifat pengecut dipandang sebagai sifat tercela yang tidak boleh dimiliki orang-orang yang beriman. Karena pengecut artinya ia tidak mau menanggung dan menghadapi resiko yang memang sudah menjadi konsekwensinya. Perilaku ini merupakan perilaku orang-orang yang setengah hati dalam keimanan, hanya ingin serba enak tanpa harus bersusah payah menghadapi masalah rumit. Sifat pengecut akan menjadi penghalang untuk maju dan pemberat langkah kesuksesan.

Saat ini, dunia dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki sifat pengecut. Sebuah hadits Nabi SAW. memprediksikan di suatu masa umat Islam akan menjadi bulan-bulanan dan santapan empuk musuh-musuh Islam karena sudah mengidap penyakit wahn, yakni cinta dunia dan takut mati. Memang, penyakit wahn-lah yang menyebabkan umat Islam banyak yang menjadi pengecut sehingga tidak lagi disegani oleh musuh-musuhnya yakni kaum kafir, musyrikin dan munafikin.

Islam memandang hina orang yang pengecut. Baik pengecut untuk mempertahankan hidup sehingga gampang putus asa. Pengecut lantaran takut dikucilkan dari komunitasnya. Pengecut karena berlainan dengan sikap banyak orang. Atau pengecut untuk membela sebuah nilai. Kemudian menjerumuskan pelakunya pada sikap yang plin-plan tanpa prinsip. Rasulullah SAW. bersabda:

“Janganlah kamu menjadi orang yang tidak punyai sikap. Bila orang melakukan kebaikan maka aku pun melakukannya. Namun bila orang melakukan keburukan maka aku pun ikut melakukannya juga. Akan tetapi jadilah orang yang punya sikap dan keberanian. Jika orang melakukan kebaikan maka aku melakukannya. Namun jika orang melakukan keburukan maka aku tinggalkan sikap buruk mereka”. (Tirmidzi)

Allah SWT. selalu menggelorakan orang-orang yang beriman agar jangan takut, jangan pengecut. Karena rasa takut akan membawa kegagalan dan kekalahan. Akan tetapi keberanian menjadi seruan yang terus berulang-ulang dikumandangkan. Karena keberanian adalah tuntutan keimanan. Iman pada Allah SWT. mengajarkan menjadi orang-orang yang berani menghadapi beragam resiko dalam hidup ini, terlebih lagi, resiko dalam memperjuangkan dakwah ini.

Syaja’ah atau keberanian merupakan jalan untuk mewujudkan sebuah kemenangan dan sebagai izzah keimanan. Tak pernah boleh ada, kata gentar bagi kader dakwah saat mengemban tugas bila ingin meraih kegemilangan. Dari sisi inilah kaum yang beriman berada jauh di atas kebanyakan orang. Karena izzah keimanan menuntun mereka untuk tidak takut dan gentar sedikit pun.

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”. (Ali Imran: 139)

Dahulu yang membuat gentar musuh-musuh Islam adalah keberanian pejuang-pejuang Islam yang menghambur ke medan perang dengan suka cita karena pilihannya sama-sama baik yakni hidup mulia dengan meraih kemenangan atau mati syahid di jalan Allah. Bahkan mereka jauh mencintai kemuliaan sebagai syahid sebagaimana kecintaan kaum kafir terhadap dunia. Dengan sikap ini kaum muslimin banyak memperoleh anugerah kemenangan dakwah di berbagai tempat.

Orang-orang kafir amat takut terhadap orang-orang yang beriman yang memiliki prinsip ini. Sehingga mereka berupaya agar sifat berani tidak bersemayam dalam diri orang-orang mukmin. Lalu mereka takut-takuti kaum muslimin dengan situasi dan kondisi masa depan yang suram, ancaman, teror, intimidasi atau tekanan-tekanan lainnya agar umat ini tidak lagi berani memperjuangkan nilai dan norma yang diyakininya. Akhirnya timbullah sikap takut yang luar biasa hingga melemahkan semangat juangnya.

Oleh karena itu jangan tertipu oleh upaya orang-orang kafir untuk menghilangkan sifat syaja’ah. Sebab syaja’ah merupakan harga diri orang-orang beriman. Lantaran sifat itu sebulan sebelum kedatangan kaum muslimin orang-orang di Babylonia telah lari tunggang langgang mendengar umat Islam akan tiba di negeri mereka. Sampai-sampai Khalid bin Walid RA. menenangkan masyarakat Romawi agar tidak perlu teramat takut pada kaum muslimin karena kedatangan umat Islam hanya untuk menyerukan Islam dan mengajak mereka menghamba pada Allah SWT. semata.

Asy syaja’ah (keberanian) menjadi salah satu ciri yang dimiliki orang yang istiqamah di jalan Allah, selain ciri-ciri berupa al-ithmi’nan (ketenangan) dan at-tafaul (optimisme). Dengan demikian orang yang istiqamahlah akan senantiasa berani, tenang dan optimis karena yakin berada di jalan yang benar dan yakin pula akan dekatnya pertolongan Allah. Namun memang tak mudah untuk menjadi orang yang istiqamah atau teguh pendirian memegang nilai-nilai kebenaran dan senantiasa berada di jalan Allah. Bahkan Rasulullah SAW. mengatakan bahwa turunnya surat Hud membuat beliau beruban karena di dalamnya ada ayat (Huud: 112) yang memerintahkan untuk beristiqamah.

“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Rasulullah SAW. memahami benar makna istiqamah yang sesungguhnya sampai ketika Abu Sufyan bertanya hal terpenting apa dalam Islam yang membuatnya tak perlu bertanya lagi, beliau menjawab:

“Berimanlah kepada Allah dan kemudian beristiqamahlah (terhadap yang kau imani tersebut)”. (Bukhari).

Di kesempatan lain, Rasulullah SAW. juga mengatakan tantangan buat orang yang istiqamah memegang Islam di akhir zaman, begitu berat laksana menggenggam bara api.

Keberanian untuk tetap istiqamah walau nyawa taruhannya nampak pada diri orang-orang beriman seperti yang disebutkan di dalam surat Al-Buruuj: 4 – 8 yang dimasukkan ke dalam parit dan dibakar oleh as-habul ukhdud hanya karena mereka menyatakan keimanannya kepada Allah SWT. Begitu pula Asiah, istri Firaun dan Masyitah, pelayan Firaun, kedua-duanya harus menebus keimanan mereka kepada Allah dengan nyawa mereka. Asiah di tiang penyiksaannya dan Masyitah di kuali panas mendidih beserta seluruh keluarganya karena mereka berdua tak sudi mentuhankan Firaun. Demikian sulitnya untuk mempertahankan keistiqamahan di jalan Allah, dan demikian sulit pula untuk mewujudkan asy syaja’ah sebagai salah satu aspeknya.

Muthallibatu Ad Da’wah (Tuntutan-tuntutan Dakwah)

Dalam mengusung amanah dakwah, slogan ‘Jangan pernah takut, Maju pantang mundur, Berani karena benar, rela mati demi kebenaran’ tidak boleh luntur melainkan harus tetap terpatri dalam sanubari kader dakwah.

Melekatnya doktrin itu, membuat kader dakwah tidak akan lari ke belakang demi kemenangan dakwah ini. Karena asy syaja’ah (keberanian) mengemban amanah umat merupakan tuntutan dakwah.

Manakala Allah SWT. berbicara tentang penyelamatan dakwah, maka aspek asy syaja’ah ini yang selalu disebut-sebut oleh-Nya. Sebagaimana dalam surat At Taubah: 40,

“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Di samping itu sikap syaja’ah para kader menjadi sebab dakwah berkesimbungan di muka bumi ini. Dengannya dakwah ini berjalan terus sekalipun harus melewati bukit terjal ataupun tembok besar. Beresiko berat ataupun ringan. Dengan keberanian para pejuang dakwah, ajaran Islam ini merambah ke berbagai pelosok dunia bahkan sampai pada diri kita saat ini. Padahal bila dilihat tantangan dan rintangan yang dihadapi sangat berat. Tantangan alam, geografis, budaya, maupun rintangan dari musuh-musuh dakwah. Tanpa keberanian mereka, perjalanan dakwah ini akan tertatih-tatih lantaran ketakutan yang melemahkan gerak dakwah ini.

Da’aimu Asy Syaja’ah (Pilar-pilar Keberanian)

Karena sikap asy syaja’ah merupakan tuntutan dakwah maka para kader mesti selalu memompa dan menopang keberaniannya agar kata takut dan pengecut tidak lagi melekat dalam dirinya. Takut dan pengecut tidak boleh ada dalam memperjuangkan dakwah. Adapun pilar-pilar yang menghantarkan diri seorang kader memiliki sifat asy syaja’ah adalah hal-hal berikut ini:

1. Al Iman bil Ghaib (Iman Dengan Yang Ghaib)

Penopang yang amat kokoh untuk menguatkan sikap asy syaja’ah dalam diri kader dakwah adalah memperkuat keyakinannya akan hal-hal yang ghaib. Seperti yakin akan pertolongan Allah SWT. Yakin akan malaikat-malaikat-Nya yang senantiasa membantu orang yang memperjuangkan agama Allah SWT. Begitu pula yakin akan kehidupan akhirat yang ditentukan oleh amaliyah kita di dunia ini, khususnya amal-amal dakwah.

Keyakinan pada hal yang ghaib memunculkan sikap berani, tak takut terhadap apa yang terjadi. Karena semua yang bakal terjadi telah menjadi ketentuan dalam kehidupan seseorang. Ia merupakan takdir yang telah ditetapkan. Sebagaimana pengalaman nyata yang menarik dari seorang kader dakwah yang diancam atas perjuangannya selama ini. Tatkala di atas kepalanya ditodongkan pistol. Lalu sang algojo mengatakan: “Mana Tuhanmu, Apakah ia bisa menyelamatkan kamu kalau pelatuk pistol ini kugerakkan. Dan hancurlah batok kepalamu berkeping-keping”. Jawab sang aktivis: “Bila Tuhanku tidak mengizinkan pistol itu meledak maka aku tidak akan mati. Atau kalaupun pistol itu meledak namun Tuhanku tidak menetapkan aku mati maka aku pun tidak akan mati”. Jawaban ini sebagai jawaban atas keyakinan pada Yang Ghaib, yakni Allah SWT.

Keyakinan semacam ini adalah buah dari tarbiyah yag telah menanamkan rasa takut hanya pada Allah SWT. dan senantiasa bergantung pada-Nya. Sehingga kader memiliki cantolan yang teramat kuat. Lantaran pegangan dirinya kepada yang Maha Kuat ia tidak pernah mundur menghadapi cobaan dan rintangan dakwah. Demikianlah hasil dari proses tarbiyah yang panjang, membina aktivis untuk senantiasa yakin dengan sebenar-benarnya pada kekuatan yang Ghaib.

Rasulullah SAW. telah mengingatkan Abu Bakar RA. akan keyakinan pada Rabbul Izzati. Di saat orang-orang kafir sudah berada di gua Tsur ingin membunuhnya. Abu Bakar hingga mencemaskan, Ya Rasulullah, sekiranya salah satu dari mereka melihat betisnya maka mereka pasti akan melihat kita. Nabi SAW. menenangkannya dengan menyatakan, ‘duhai Abu Bakar, apakah kamu mengira kita di sini Cuma berdua. Tidak, Abu Bakar, kita di sini bertiga. Janganlah takut dan gentar, Allah bersama kita.

Karenanya jiwa para kader tidak boleh luput untuk selalu berinteraksi pada Allah SWT. agar dikuatkan diri dan jiwa dalam memperjuangkan dakwah. Karena kemenangan para pejuang dakwah bukan ditentukan oleh kekuatan material melainkan kekuatan dari Yang Maha Perkasa.

2. Al Mujahadah Ala Al Khauf (Menaklukkan Rasa Takut)

Rasa takut sebagai lawan dari asy syaja’ah memang amat manusiawi. Kenyataan ini merupakan watak alamiyah yang dimiliki setiap insan. Seperti takut terbakar, tenggelam, terjatuh di mangsa binatang buas dan lain sebagainya. Namun rasa takut semacam itu harus berada di bawah khauf syar’i yakni takut kepada Allah SWT. Sehingga setiap kader dakwah sepatutnya menaklukkan rasa takut thabi’inya dengan mengkedepankan rasa takut kepada Rabbbul Izzati. Dengan begitu mereka akan ringan dalam memperjuangkan dakwah, tidak maju mundur lantaran ketakutan-ketakutan yang ada pada dirinya.

Hal tersebut secara indah dan heroik terlihat gamblang pada kisah Nabi Musa AS., Ibrahim AS. dan Muhammad SAW. Rasa takut pada kemungkinan tenggelam ke laut merah teratasi oleh ketenangan, optimisme dan keberanian Nabi Musa AS. yang senantiasa yakin Allah bersamanya dan akan menunjukinya jalan. Dan benar saja Allah memberinya jalan keluar berupa mukjizat berupa terbelahnya laut merah dengan pukulan tongkatnya sehingga bisa dilalui oleh Nabi Musa dan pengikutnya. Kemudian laut itu menyatu kembali dan menenggelamkan Firaun beserta tentaranya.

Kisah yang tak kalah mencengangkannya terlihat pada peristiwa pembakaran Nabi Ibrahim AS. Rasa takut thabi’i terhadap api dan terbakar olehnya teratasi oleh rasa takut syar’i yakni takut kepada Allah saja. Dan subhanallah, pertolongan Allah datang dengan perintah-Nya kepada api agar menjadi dingin dan sejuk serta menyelamatkan Nabi Ibrahim AS.

Demikian juga apa yang dialami para murid-murid syeikh Umar Tilmisani yang harus menerima hukuman atas perjuangannya selama ini. Sang syeikh digugat oleh murid-muridnya yang telah disiksa musuh-musuh dakwah. Ada yang digantung, ada yang disetrum, ada yang dibunuh. Para murid meminta syeikh untuk keringanan hukuman yang mereka derita karena rasa takut yang luar biasa. Syeikh mengusir rasa takut murid-muridnya dengan menyatakan, ‘wahai murid-muridku. Musuh-musuh Allah itu bisa berbuat apa saja pada kita. Mereka mampu mencincang kita, mereka juga dapat menggantung kita, mereka juga bisa membunuh kita. Namun ada hal yang harus kamu yakini bahwa mereka tidak akan pernah melakukannya di tempat yang tidak ada Allahnya. Pasti Allah bersama kalian dalam berbagai keadaan”.

Selayaknya setiap kader dakwah selalu menundukkan rasa takut insaniyahnya dengan mendominasikan rasa takut syar’inya. Sehingga yang selalu tertanam dalam dirinya hanya takut pada Allah semata. Dan tidak pernah gentar akan kekuatan-kekuatan selain Allah SWT.

3. Taurits Al Khairiyah (Mewariskan Hal Yang Terbaik)

Penopang lainnya adalah dengan mempertimbangkan keadaan generasi berikutnya harus lebih baik dari sebelumnya. Maka warisan yang ditinggalkan untuk mereka adalah warisan-warisan kemuliaan. Sehingga mereka mengikuti jejak para pendahulunya yang mempunyai akhlaq mulia. Bila menginginkan generasi sesudahnya menjadi pemberani maka wariskan sifat berani pada mereka. Namun bila mewariskan sifat takut dan pengecut maka jangan harap generasi berikutnya menjadi orang-orang yang heroik dan patriotik.

Abul ‘Ala Al Maududi menegaskan bahwa untuk mewariskan keturunan dan generasi yang lebih baik maka jangan lakukan sifat-sifat rendahan. Karena itu akan menjadi contoh bagi mereka. Ingatlah kebaikan akan mewariskan kebaikan dan keburukan akan mewarisi keburukan pula. Oleh karena itu Allah SWT. telah mengingatkan agar memperhatikan nasib generasi berikutnya dengan mewariskan nilai-nilai kebaikan untuk menjadi dhawabith khairiyah bagi mereka.

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (Q.S. An Nisa’: 9)

Adalah hal yang patut dipikirkan para kader dakwah untuk selalu menanamkan tekad dan kemauan agar melahirkan generasi yang terbaik dengan selalu berpegang pada sikap-sikap keteladanan yang di antaranya sikap asy syaja’ah.

4. As Shabru Ala Ath Tha’ah (Bersabar Terhadap Ketaatan)

Keberanian akan terus ada pada diri kader bila mereka bersabar. Sabar terhadap peristiwa yang mereka alami. Karena kesabaran itu merupakan senjata yang ampuh yang memberikan ketahanan menghadapi tekanan berat sekalipun. Dengan kesabaran kita pun dapat membandingkan kejadian yang dirasakan generasi yang lalu dengan yang sedang kita rasakan . Mereka tentu telah mengalami cobaan yang lebih berat ketimbang yang kita alami saat ini. Dengan kesabaran ini kita dapat bertahan dan terus maju melangkah di atas jalan dakwah dengan gagah berani.

Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saat menasihati Khabbab bin Al Arts yang berkeluh kesah atas beratnya penderitaan yang dialaminya, beliau mengingatkan Khabbab akan perjuangan para Nabi dan orang-orang shaleh terdahulu yang jauh lebih berat tapi mereka tetap berani dan tabah. Jadi kita bisa memupuk keberanian dan kesabaran dengan berkata, “Ah… cobaan ini belum seberapa dibanding yang pernah dialami orang-orang shaleh terdahulu”.

Oleh sebab itu bekal kesabaran tidak boleh dalam keadaan defisit. Kesabaran mesti dalam kondisi yang selalu cukup dan bertambah. Karena kesabaran yang kuat menjadi tameng dalam menyelamatkan diri atas cobaan-cobaan berat dakwah ini. Allah SWT. pun mengingatkan agar senantiasa bersabar dan menguatkan kesabaran.

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung”. ( Ali Imran: 200)

5. Al Ajru min Allah (Berharap Balasan Dari Allah)

Seorang kader juga bisa mengusung dakwah ini dengan berani karena berharap balasan yang besar dari Allah SWT. Balasan yang dijanjikan ini meminimalkan perasaan takut akan ancaman dalam memperjuangkan dakwah. Rasa takut akan segera sirna bila balasan yang dijanjikan jauh lebih besar dari apa yang diderita saat itu. Bahkan balasan yang pasti diberikan itu dapat memompa semangat juang kader untuk terus berada di jalan dakwah dan memperjuangkannya sampai titik darah penghabisan. Maka balasan Allah SWT. itu seyogianya tervisualisasi dengan baik pada diri kader dakwah. Seakan-akan semua balasan itu ada di pelupuk mata.

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. ( Fushshilat: 30 – 32)

Bila balasan yang dijanjikan Allah SWT. senantiasa terngiang-ngiang dalam benak kader maka tidak ada alasan untuk takut dan pengecut. Rasulullah SAW. mengingatkan Abdullah bin Harits yang mengungkapkan keinginannya untuk masuk Islam. Namun ia perlu mengajukan dua syarat yang memang terjadi pada dirinya. Pertama, tidak dibebankan infak karena dia orang yang termiskin di keluarga dan kabilahnya dan tidak pula diwajibkan berperang karena dia seorang yang penakut. Nabi menjawab, ‘wahai Abdullah, bila itu kamu syaratkan lalu dengan apa kamu akan masuk syurga?’. Maka Abdullah menandaskan, ‘kalau begitu, ya Rasulullah aku akan berinfak dan akan berjuang di jalan Allah SWT’. Begitulah akhirnya Abdullah bin Harits berada di barisan terdepan di jalan dakwah tanpa rasa takut dan lemah.

Syaja’ah atau pemberani tentu saja berbeda dengan bersikap nekat, “ngawur” atau tanpa perhitungan dan pertimbangan. Asy syaja’ah adalah keberanian yang didasari pertimbangan matang dan penuh perhitungan karena ingin meraih ridha Allah. Dan untuk meraih ridha Allah, tentu saja diperlukan ketekunan kecermatan dan kerapian kerja (itqan). Bukan keberanian yang tanpa perhitungan yang melahirkan kenekatan, namun juga bukan terlalu perhitungan dan pertimbangan yang melahirkan ketakutan.
Perwujudan sikap asy syaja’ah dalam kehidupan ini amatlah banyak terlebih dalam memperjuangkan dakwah. Implementasinya bisa bermacam-macam. Di antaranya:

a. Quwwatul Ihtimal (Memiliki Daya Tahan Yang Besar)

Seseorang dapat dikatakan memiliki sifat berani jika ia memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.

Begitu banyak orang yang tidak memiliki daya tahan tinggi terhadap segala tantangan dan kesulitan sehingga mudah surut, menyerah atau berputus-asa. Padahal dalam kehidupan yang semakin berat dan sulit dewasa ini begitu banyak tantangan dan marabahaya yang harus disikapi dan dihadapi dengan berani, karena bersikap pengecut dan melarikan diri dari persoalan hidup yang berat tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Apalagi dalam perjuangan dakwah untuk mencapai kemenangannya.

Daya tahan yang besar terhadap tekanan memberikan kemampuan menanggung beban-beban berat sendirian tanpa menyertakan yang lainnya. Malah ia ingin saudara-saudaranya tidak boleh mengalami kesulitan lantaran dirinya. Bila perlu ia yang menanggung penderitaan saudaranya yang lain. Begitulah kekuatan daya tahan kader dakwah yang patriotik.

Khubaib bin ‘Ady pernah ditawari Abu Sufyan ketika akan dieksekusi mati. ‘Wahai Hubaib bagaimana kalau dirimu digantikan oleh Muhammad yang akan menduduki kursi pesakitan itu. Khubaib menjawab, Demi Allah yang diriku dalam genggaman-Nya. Aku tidak akan rela bila Muhammad menggantikan diriku begini. Kalau sekiranya aku tahu bahwa Muhammad sekarang ini tertusuk duri maka aku tidak bisa tenang dan aku beserta keluargaku akan menggantikannya menderita karena tertusuk duri. Inilah daya tahan yang kuat, berani menanggung beban resiko sendirian dan tidak ingin melibatkan kesulitan dirinya pada saudaranya.

b. As Sharahah fi Al Haq (Berterus Terang pada Kebenaran)

Keterus terangan dalam kebenaran sebagai indikasi keberanian. Sekalipun hal itu akan mengundang ekses padanya. Terkadang ada yang tidak bisa menerimanya. Ada juga yang memusuhinya. Ada pula yang mengancamnya. Bahkan ada pula yang tidak siap mendengarnya lalu membunuhnya.

Mengatakan yang benar dengan terus terang memang sesuatu yang pahit bila dilihat dari sisi dampak yang bakal muncul. Namun bila dilihat dari sisi manfaat dan izzah keimanan ia menjadi sebuah keharusan. Sebagaimana sabda Nabi SAW. ‘Qulil haq walau kaana muuran’ (katakan yang benar meskipun itu pahit) dan berkata benar di hadapan penguasa yang zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja dibutuhkan keberanian menanggung segala resiko bila kita senantiasa berterus terang dalam kebenaran.

Tidak sedikit orang tergelincir dalam bersikap lalu ia berdusta atau diam karena khawatir akan resiko-resikonya. Sikap ini dipilih untuk mencari jalan selamat. Atau memang ia seorang pengecut dan penakut. Padahal sangat mungkin penguasa itu mendapatkan hidayah bila seseorang menyampaikan kebenaran tanpa rasa takut kepadanya. Ada seorang penguasa zhalim menginsafi dirinya. Sang penguasa menangis atas nasihat yang diucapkan seorang ulama yang berani memaparkan kebenaran padanya.

Sikap berani menyampaikan kebenaran yang mengandung resiko berat menjadi harga diri seorang kader dalam memperjuangkan dakwah. Para musuh tidak akan menganggap miring pada orang-orang yang mempunyai sikap ini. Malah mungkin sangat dipandang. Paling tidak sang penguasa akan gentar menghadapinya.

Syeikh Umar Tilmisani sewaktu mendengar pidato Jamal Abdul Nasher. Sesudahnya ia berkata lantang. ‘Kalau saja yang berpidato tadi bukan anda maka akan aku adukan pada anda kasus ini. Akan tetapi karena anda yang mengucapkannya maka akan aku adukan pada Tuhanku dan Tuhanmu’. Mendengar teguran sang syeikh, Jamal Abdul Nasher tertunduk diam tanpa mengucapkan sepatah kata bantahan.

c. Kitmanu As Sirri (Kemampuan Menjaga Rahasia)

Kemampuan menyimpan rahasia merupakan bentuk keberanian yang bertanggung jawab. Orang yang berani adalah orang yang bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan terutama dalam persiapan jihad menghadapi musuh-musuh Islam termasuk di dalamnya mampu menyimpan rahasia dengan serapat-rapatnya. Sebab kerahasiaan adalah tanggungan yang harus disimpan dengan baik meski beresiko tinggi. Ia bukanlah sesuatu yang diumbar-umbar kepada orang yang tidak berhak. Apalagi terhadap kerahasiaan dakwah. Karena terbongkarnya sebuah kerahasiaan akan berakibat fatal. Sangat banyak operasional dakwah berantakan karena tersiarnya rahasia dakwah.

Menyimpan rahasia bukanlah hal yang gampang. Ia merupakan pekerjaan berat yang tidak sembarang orang mampu melakukannya. Hanya orang-orang yang berani dan terampil menyimpan rahasia sajalah yang dapat melakukannya. Karenanya sahabat Rasulullah SAW. yang memiliki kemampuan ini tidaklah banyak. Mereka adalah sahabat pilihan Nabi SAW. untuk bisa menjaganya. Ada pepatah yang menyatakan bahwa selamatnya manusia tergantung dalam menjaga lidahnya. Tentu juga termasuk di dalamnya adalah menjaga kerahasiaan. Ini sangat ditentukan oleh keberanian menanggung beban akibat dari rahasia yang dipikulnya.

Huzaifah ibnul Yaman RA. seorang sahabat Nabi yang dikenal dengan sebutan Shohibus sirri. Dia dapat menyimpan rahasia dengan baik. Hingga tidak diketahui yang lain akan tugas dan tanggung jawabnya menjaga rahasia. Dia berani menghadapi konsekwensinya sekalipun terasa amat berat. Akan tetapi yang membuat gentar dirinya adalah bila tertangkap musuh.

Sebagaimana yang pernah ia ungkapkan pada Rasulullah SAW. ‘Ya Rasulullah, saya tidak takut bila harus mati akan tetapi yang aku takutkan adalah bila aku tertangkap.

d. Al ‘Itirafu bil Khatha’i (Mengakui Kesalahan)

Salah satu orang yang memiliki sifat pengecut adalah tidak mau mengakui kesalahan, mencari kambing hitam dan bersikap “lempar batu, sembunyi tangan”. Sebaliknya orang yang memiliki sifat syaja’ah adalah berani mengakui kesalahan, mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan dan bertanggung jawab.

Memang mengakui kesalahan tidaklah mudah. Kadang ada rasa malu, perasaan takut dikucilkan, perasaan cemas akan pandangan sinis orang lain karena kesalahannya. Padahal mengakui kesalahan diri sendiri sangat menguntungkan. Sebab ia lantas bisa melihat kesalahan dirinya. Ia pun tidak menyalahkan orang lain. Ia juga akan cepat memperbaiki dirinya. Dan berani mengakui kesalahannya akan membuka pintu keinsafan selebar-lebarnya.
Allah SWT. memberikan contoh pelajaran dari sikap Nabi Adam AS. ketika melakukan kesalahan, ia tidak limpahkan kesalahan itu pada setan yang menggodanya. Akan tetapi ia lebih memberatkan dirinya sehingga terbukalah pintu ampunan untuknya.

“Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. (Al ‘Araf: 23).

e. Al Inshafu min Ad Dzati (Bersikap Obyektif Pada Diri Sendiri)

Ada orang yang cenderung bersikap over estimasi terhadap dirinya, menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap under estimasi terhadap dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak mampu berbuat apa-apa dan tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas tidak proporsional dan tidak obyektif. Orang yang berani akan bersikap obyektif, dalam mengenali dirinya yang memiliki sisi baik dan buruk.
Obyektif dalam memandang diri sendiri akan membuka kesempatan pada orang lain untuk ikut berperan serta. Malah ia akan sangat berhajat pada keberadaan orang lain. Karena ia tahu benar bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa partisipasi yang lainnya. Di samping itu ia pun tidak akan meremehkan kemampuan dirinya. Sehingga ia bisa berbuat lebih banyak secara optimal dari potensi miliknya.

Umar bin Abdul Aziz saat diangkat menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan khalayak rakyatnya. ‘Aku bukanlah orang yang paling baik dari kalian. Aku hanyalah manusia seperti kalian akan tetapi aku mendapatkan amanah yang amat besar melebihi kalian. Karena itu bantulah diriku dalam menunaikan amanah ini’. begitulah layaknya orang yang berani memandang kemampuan dirinya secara obyektif.

f. Milku An Nafsi ‘inda Al Ghadhabi (Menahan Nafsu di saat Marah)

Seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu bermujahadah li nafsi, melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri dan menahan tangannya padahal ia punya kemampuan dan peluang untuk melampiaskan amarahnya. Orang yang bisa lakukan itu dipandang sebagai orang kuat karena kemampuannya menahan amarah.

Amarah dapat menggelincirkan manusia pada sikap serampangan. Ia akan kehilangan kontrol diri. Bisa jadi ia lupa diri akan sikapnya yang keliru. Malah ia tak akan pernah menemukan solusi jitu akan masalahnya. Oleh karena itu Islam memerintahkan untuk bisa mengendalikan diri dari amarah. Sampai-sampai Rasulullah SAW. mengajarkan untuk tidak amarah berulang-ulang. Bila masih muncul perasaan itu maka rubahlah posisi dirinya. Bila juga masih berkobar-kobar maka pergilah dan ambillah wudhu. Karena rasa marah dari setan. Setan diciptakan dari api. Dan api bisa mati disiram dengan air.

Keberanian adalah kelaziman dalam dakwah dan menjadi sikap yang melekat dalam diri sang kader. Ia adalah identitas pengemban amanah umat untuk bisa menunaikan tugas berat yang diusungnya. Ingat-ingatlah senandung para senior dakwah yang menggumankan:

“Di dalam hatiku selalu terdengar suara Nabi yang memerintahkan, ‘Berjihadlah, berjuanglah dan lelahkanlah dirimu’. Dan berseru, ‘Menanglah, kalahkanlah musuh dan berlatihlah jadilah kamu selamanya orang merdeka yang pantang menyerah. Hai pemberani lakukanlah karena kita punya hari esok dan harapan”.